Senin, 20 Januari 2014

SYIRKAH

Syariah merupakan suatu dasaran terpenting dari kaum muslim di dunia. Konsep-konsep syariahpun juga mulai menjalur pada beberapa macam sistem yang tumbuh di tengah peradaban masyarakat. Salah satunya diterapkan dalam sistem perekonomian. Di jaman yang semakin modern seperti ini, prinsip syariah dalam hal perekonomian sudah diakui oleh banyak negara dalam sisi kualitas dan produk keterbukaan yang diusungnya. Akibatnya banyak bermunculan lembaga-lembaga yang berbasis syariah, seperti perbankan yang berbasis syariah, pegadaian yang berbasis syariah, asuransi dan masih banyak lagi. Dalam hal perbankan syariah banyak sekali produk yang berbasis syariah yang ditawarkan, seperti Rahn, wakalah, kafalah, hawalah, syirkah, sharf dan masih banyak lagi.
Dalam tugas karya ilmiah kali ini, penulis membahas salah satu produk yang ditwarkan oleh perbankan yakni syirkah yang dalam arti sempitnya bermakna kerja sama yang dilakukan oleh dua orang atau lebih. Syirkah juga diartikan sebagai kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu , dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana  dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan sedangkan kerugian berdasarkan porsi kontribusi dana. Dewasa ini, syirkah dalam bisnis dan macam-macamnya merupakan perkara yang sangat dibutuhkan oleh setiap pengusaha muslim. Syirkah yang dalam bahasa inggrisnya berarti partnership juga merupakan hal yang lazim dilakukan dalam bermasyarakat. Dalam menjalani hidup, masyarakat membutuhkan antara yang satu dan yang lainnya dan merekapun juga sangat melengkapi antara yang satu dengan yang lainnya.
Selain berarti kerja sama , syirkah dapat diartikan mencampur. Artinya, syirkah mencampur satu modal dengan modal yang lain sehingga tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya. Dalam istilah fiqih syirkah diartikan sebagai suatu akad yang dilakukan antara dua orang atau lebih untuk berkongsi modal dan bersekutu yang bertujuan untuk mencari keuntungan.
Dari latar belakang yang telah terpapar diatas dapat diketahui beberapa perseoalan yang harus dikuak lebih lanjut. Persoalan-persoalan tersebut tertuangkan dalam rumusan masalah, yakni :
1.      Apakah syirkah itu ?
2.      Apakah landasan syariah yang melatar belakangi adanya syirkah ?
3.      Bagaimanakah penerapan syirkah dalam lembaga keuangan ?

Dari perumusan masalah yang telah ada, dapat diketahui tujuan penulisan dari makalah ini, antara lain adalah sebagai berikut :
1.      Mengetahui pengertian dan segala macam hal yang bersangkutan dengan syirkah.
2.      Mengetahui landasan syariah yang melatar belakangi adanya syirkah.
3.      Mengetahui penerapan syirkah secara langsung dalam lembaga keuangan.


  
 BAB II
Secara bahasa syirkah bisa diartikan mencampur atau kerjasama. Sedangkan menurut istilah syirkah bisa diartikan sebagai suatu akad yang dilakukan antara dua orang atau lebih untuk berkongsi modal dan bersekutu dalam mendapatkan keuntungan. Syirkaha atau juga bisa disebut sebagai musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu , dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana  dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan sedangkan kerugian berdasarkan porsi kontribusi dana. Dalam syirkah atau musyarakah wajib hukumnya bagi mitra kerja untuk saling menyumbangkan dananya guna melakukan suatu usaha yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan.
Dalam musyarakah dapat ditemukan aplikasi ajaran islam tentang ta’awun atau gotong royong, ukhuwah islamiyah atau persaudaraan dan juga keadilan. Keadilan sangat terasa ketika penentuan nisbah untuk pembagian keuntungan yang bisa saja berbeda dari porsi modal, karena disesuaikan oleh faktor lain selain modal misalnya  saja faktor keahlian, pengalaman, ketersediaan waktu  dan masih banyak lagi. Selain hanya pengertian yang telah terpapar diatasa, ada beberapa pengertian syirkah menurut pendapat para ulama’, antara lain sebagai berikut :
1.      Menurut ulama’ Malikiyyah, definisi syirkah adalah
إذن في التصرف لهما مع أنفسهما في مال لهما
“izin untuk bertindak secara hukum bagi dua orang yang bekerjasama terhadap harta mereka”
                                     
2.      Menurut pendapat ulama’ hanifiyah, definisi syirkah adalah :
عقد بين المتشاركين في رأس المال والربح
“akad yang dilakukan oleh orang-orang yang bekerjasama dalam modal dan keuntungan”
3.      Menurut kitab subussalam, definisi syirkah adalah :

اَلشِّرْكَةُ بِفَتْحِ أَوَّلِهِ وَكَسْرِ الرَّاءِ وَبِكَسْرِهِ مَعَ سُكُوْنِهَا وَهِيَ بِضَمِّ الشِّيْنِ اِسْمٌ لِلشَّيْءِ الْمُشْتَرَكِ وَالشِّرْكَةُ اَلْحَالَةُ الَّتِيْ تَحْدُثُ بِالْإِخْتِيَارِ بَيْنَ اثْنَيْنِ فَصَاعِداً.
وَإِنْ أُرِيْدَ الشِّرْكَةُ بَيْنَ الْوَرَثَةِ فِيْ الْمَالِ الَمَوْرُوْثِ حُذِفَتْ "بِالْاِخْتِيَارِ"
"وَالْوَكَالَةُ" بِفَتْحِ الْوَاوِ وَقَدْ تُكْسَرُ مَصْدَرُ وَكَّلَ مُشَّدَداً بِمَعْنىَ التَّفْوِيْضِ وَالْحِفْظِ وَتُخَفَّفُ فَتَكُوْنُ بِمَعْنىَ التَّفْوِيْضِ، وَهِيَ شَرْعاً إِقَامَةُ الشَّخْصِ غَيْرَهُ مَقَامَ نَفْسِهِ مُطْلَقاً وَمُقَيَّداً.

Kata “اَلشِّرْكَةُ” dibaca fathah huruf awalnya ( ش-nya ) dan bibaca kasroh atau sukun Ra’-nya. Kata “اَلشِّرْكَةُ” jika dibaca dhammah Syin-nya (اَلشُّرْكَةُ) adalah nama bagi sesuatu yang dipersekutukan.َالشِّرْكَةُ berarti situasi yang terjadi antara dua orang atau lebih dengan kemauan sendiri. Jika yang dimaksud adalah syirkah antara ahli waris dalam harta warisan, maka kalimat “dengan kemauan sendiri”nya dihapus.
Kata “الْوَكَالَةُ” dibaca fathah waw-nya, terkadang juga dibaca kasrah waw-nya, adalah bentuk mashdar (kata benda) dari kata وَكَّلَ (wakkala) yang dibaca tasydid, berarti memasrahkan dan menjaga. Jika tanpa tasydid berarti memasrahkan. Wakalah menurut istilah adalah menempatkan orang lain pada posisinya.

Syirkah terbagi menjadi beberapa yaitu syirkah inan, syirkah abdan, syirkah mudharabah, syirkah wujud dan syirkah muwafadhah. Menurut An- Nabhani keseluruhan dari syirkah tersebut merukan yang dibenarkan oleh agama islam, sepanjang maih memenuhi aturan main yang ada dalam islam. Dalam terminologi Fiqih Islam, syirkah diklasifikasikan dalam dua jenis, yakni :

a)      Syirkah al-milk atau syirkah amlak atau syirkah kepemilikan, yaitu kepemilikan bersama dua pihak atau lebih dari suatu property.
b)      Syirkah al-‘aqd atau syirkah ‘ukud atau syirkah akad, yang berarti kemitraan yang terjadi karena adanya kontrak bersama, atau usaha komersial bersama. Syirkah al-‘aqad sendiri ada empat (Mazhab Hambali memasukkan syirkah mudharabah sebagai syirkah al’aqad yang kelima), satu yang disepakati dan tiga yang diperselisihkan yaitu :

1.      Syirkah inan
Yaitu syirkah yang dilakukan antara dua pihak atau lebih dimana masing-masing membawa wakalah dana sebagai modal dan masing-masing syarik dalam sebuah usaha. Dalam syirkah ini modal utamanya adalah uang dimana modal beruapa barang harus dihitung terlebih dahulu nilainya. Syirkah ini dibangun diatas prinsip (perwakilan) dan amanah (kepercayaan), syirkah ini juga berprinsipkan terjun langsung tanpa harus diwakili oleh pihak manapun. Keuntungan dari syirkah ini didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya, masing-masing modalnya 50%, maka masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%. Contohnya : A dan B insinyur teknik sipil. A dan B sepakat menjalankan bisnis properti dengan membangun dan menjualbelikan rumah. Masing-masing memberikan konstribusi modal sebesar Rp 500 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut. Syirkah ‘Inan merupakan suatu akad di mana dua orang atau lebih berkongsi dalam modal dan sama-sama memperdagangkannya dan bersekutu dalam keuntungan. Hukum jenis syirkah ini merupakan titik kesepakatan di kalangan para fukoha. Demikan juga syirkah ini merupakan bentuk syirkah yang paling banyak dipraktekkan kaum Muslimin di sepanjang sejarahnya. Hal ini disebabkan karena bentuk perkongsian ini lebih mudah dan praktis karena tidak mensyaratkan persamaan modal dan pekerjaan. Salah satu dari patner dapat memiliki modal yang lebih tinggi dari pada mitra yang lain. Begitu pula salah satu pihak dapat menjalankan perniagaan sementara yang lain tidak ikut serta. Pembagian keuntunganpun dapat dilakukan sesuai dengan kesepakatan mereka bahkan diperbolehkan salah seorang dari patner memiliki keuntungan lebih tinggi sekiranya ia memang lebih memiliki keahlian dan keuletan dari pada yang lain. Adapun kerugian harus dibagi menurut perbandingan saham yang dimiliki oleh masing-masing patner. Para ulama sepakat membolehkan bentuk syirkah ini.
2.      Syirkah abnan
Syirkah ini dibentuk oleh beberapa orang dengan modal profesi dan keahlian masing-masing. Profesi dan keahlian ini bisa sama dan bisa juga berbeda. Misalnya satu pihak tukang cukur dan pihak lainnya tukang jahit. Mereka menyewa satu tempat untuk perniagaannya dan bila mendapatkan keuntungan dibagi menurut kesepakatan di antara mereka. Syirkah ini dinamakan juga dengan syirkah shona’i atau taqobul. . Jumhur (mayoritas) ulama, yaitu dari madzhab Hanafi, Maliki dan Hambali, membolehkan bentuk syirkah ini. Sementara itu, madzhab Syafi’I melarangnya karena madzhab ini hanya membolehkan syirkah modal dan tidak boleh kerja syirkah.
3.      Syirkah mudharabah
Adalah syirkah yang dilakukan oleh badan (orang/بَدَنٌ) dan harta (مَالٌ) yakni pihak yang memiliki harta disebut sebagai pemodal/ investor atau رَبُّ الْمَالِ sedangkan pihak yang hanya menyertakan badannya disebut pengelola alias اَلْعَامِلُ alias اَلْمُضَارِبُ. Investor dan pengelola sepakat untuk melakukan aktivitas tertentu yang melibatkan harta investor (misal membuka warnet) dan keuntungan yang diperoleh dibagi di antara kedua pihak sesuai dengan kesepakatan sedangkan kerugian wajib ditanggung 100 persen oleh investor jika bukan akibat kesalahan pengelolaan pengelola. Sedangkan jika kerugian yang terjadi adalah akibat kesalahan pengelolaan maka pihak pengelola wajib menanggung kerugian tersebut. Syirkah mudlarabah baru akan sah jika pihak investor telah menyerahkan hartanya (berupa uang) secara utuh kepada pengelola karena mudlarabah mengharuskan adanya penyerahan harta tersebut kepada pengelola.
4.      Syirkah wujud
Adalah syirkah yang dilakukan oleh dua orang (بَدَنَانِ) dengan menggunakan harta orang lain di luar keduanya. Dengan kata lain, seseorang yakni investor menyerahkan hartanya kepada dua orang pengelola atau lebih melalui syirkah mudharabah, sehingga dua orang pengelola tersebut (اَلْمُضَارِبَانِ) bersyirkah dalam keuntungan dengan harta dari orang lain di luar keduanya. Lalu kedua pihak (yakni investor dan dua orang pengelola) bersepakat untuk membagi keuntungan menjadi tiga bagian yakni sepertiga bagian untuk masing-masing pengelola dan sepertiga bagian lagi untuk investor, atau keuntungan dibagi empat bagian yakni bagi investor seperempat dan bagi pengelola setengahnya, atau dilakukan pembagian keuntungan dalam bentuk lain sesuai dengan syarat yang disepakati antara kedua belah pihak.
Artinya, pembagian keuntungan dilakukan secara dibedakan berdasarkan kekhususan masing-masing berkaitan dengan kadar peran salah seorang dari pengelola atau keduanya, misalnya berdasarkan keahlian/ kemahiran dalam kerja, atau berdasarkan bagusnya upaya pengelolaan secara administratif. Contohnya : A dan B adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu A dan B ber-syirkah wujûh, dengan cara membeli barang dari seorang pedagang (misalnya C) secara kredit. A dan B bersepakat, masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga pokoknya dikembalikan kepada C (pedagang).
5.      Syirkah muwafadhah
Mufawadhoh artinya sama-sama. Syirkah ini dinamakan syirkah mufawadhoh karena modal yang disetor para patner dan usaha fisik yang dilakukan mereka sama atau proporsional. Jadi syirkah mufawadhoh merupakan suatu bentuk akad dari beberapa orang yang menyetorkan modal dan usaha fisik yang sama. Masing-masing patner saling menaggung satu dengan lainnya dalam hak dan kewajiban. Dalam syirkah ini tidak diperbolehkan satu patner memiliki modal dan keuntungan yang lebih tinggi dari para patner lainnya. Yang perlu diperhatian dalam syirkah ini adalah persamaan dalam segala hal di antara masing-masing patner. Mazhab Hanafi dan Maliki membolehkan bentuk syirkah ini. Sementara itu mazhab Syafi’I dan Hambali melarangnya karena secara realita sukar terjadi persamaan pada semua unsurnya, dan banyak mengandung unsur gharar atau ketidakjelasan.
2.3. Hukum Syirkah
Pada dasarnya syirkah hukumnya jâ’iz (mubah), berdasarkan dalil Hadis Nabi Shalallahu alaihi wasalam berupa taqrîr (pengakuan) beliau terhadap syirkah. Pada saat beliau diutus sebagai nabi, orang-orang pada saat itu telah bermuamalah dengan cara ber-syirkah dan Nabi Shalallahu alaihi wasalam membenarkannya. Nabi Shalallahu alaihi wasalam bersabda, sebagaimana dituturkan Abu Hurairah ra :
يَقُوْلُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ أَناَ ثَالِثُ الشَّرِيْكَيْنِ مَالَمْ يَخُنْ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ فَإِذَا خَانَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا            
Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman: Aku adalah pihak ketiga dari dua pihak yang ber-syirkah selama salah satunya tidak mengkhianati yang lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku keluar dari keduanya. [HR. Abu Dawud, al-Baihaqi, dan ad-Daruquthni]. Ibnu Qudamah berkata: “Kaum muslimin telah berkonsensus terhadap legitimasi syirkah secara global walaupun terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa elemen darinya.”
a.       Syirkah Mutanaqisah
Syirkah mutanaqisya, salah satu bentuk kerja sama antara dua pihak yang pada saat kerja samanya berlangsung salah satu pihak melepas modalnya untuk dimiliki oleh pihak lainnya. Sehingga pada akhirnya hanya satu pihak yang mengelola investasi tersebut, karena modal pihak yang lain telah dialihkan kepada temannya.
Pada bank syariah, pembiayaan investasi menggunakan skema musyarakah mutanaqishah. Dalam hal ini, bank memberikan pembiayaan dengan prinsip penyertaan. Secara bertahap, bank melepaskan penyertaannya dan pemilik perusahaan akan mengambil alih kembali, baik dengan menggunakan surplus cashflow yang tercipta maupun dengan menambah modal, baik yang berasal dari setoran pemegang saham yang ada maupun dengan mengundang pemegang saham baru.

    b.     Syirkah Muntahiya Bit Tamlik
Syirkah  Muntahiyat bit Tamlik  tergolong  dalam  kategori Bai’ al-takjiri atau  ijarah al-muntahiya bit-tamlik merupakan  akad (kontrak) kerja sama antara dua orang atau lebih  dengan  cara  menggabungan  sewa dan beli, dimana pihak penyewa  mempunyai hak untuk memiliki barang pada akhir masa sewa (financial lease).
Dikatakan oleh Muhammad dalam salah satu sesi pada Short Course Perbankan Syari’ah Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Yogyakarta pada bulan Desember 2006 bahwa bai’ al-takjiri atau ijarah al-muntahiya bit-tamlik bukanlah seperti praktek leasing (sewa-beli) yang dikenal saat ini. Praktek leasing konvensional mengenal sistem sewa-beli sebagai berikut: A menjual barang kepada B. Dalam akad mereka, A berjanji menyewa barang yang dijualnya tadi kepada B. Hal ini dilarang dalam Islam karena ada dua akad dalam satu transaksi. Mengenai dua akad dalam satu transaksi lainnya yang tidak dibolehkan adalah jual-beli inai, yaitu contohnya A menjual barang kepada B namun dengan perjanjian suatu ketika A akan membeli lagi dari B.
2.5. Syarat dan Rukun Syirkah
Dalam setiap perkara dalam islam baik itu yang sudah tersariatkan maupun tidak, syarat dan rukun merupakan hal yang harus ada. Tak terkecuali dengan syirkah walaupun masih ada perdebatan antara para ulama’ mengenai jumlah rukun yang ada dalam syirkah tetapi kegiatan syirkah yang tersariatkan masih menjadi rujukan umat islam untuk melakukan kerjasama baik itu kerjasama dalam perkara bisnis maupun perkara yang lainnya. Menurut ulama Hanafiyah bahwa rukun syirkah ada dua, yaitu: Ijab & Kabul, hal ini disebabkan Ijab dan Qabul (akad) menentukan adanya syirkah. Sedangkan menurt pendapat ulama’ yang lain rukun syirkah itu terbagi menjadi tiga, yakni :
1.      Akad (ijab dan qabul) atau bisa disebut sebagai shighat
2.      Kedua belah pihak yang melakukan akad (aqidani), kedua belah pihak harus memiliki kecakapan dalam melakukan tasharruf (pengelolaan harta) dan yang tak terelakan lagi kedua belah pihak yang melakukan akad syirkah ini haruslah baligh dan juga berakal (tidak memiliki gangguan jiwa).
3.      Obyek akad (mahal) atau ma’qud ‘alayhi, yang mencakup pekerjaan (amal) dan modal(mal). Dalam hal ini modal yang dipakai harus tunai, modal yang dipakai tidak hanya bisa berupa uang tunai melainkan bisa menggunakan barang-barang berharga seperti emas, perak, aset, lisensi, hak paten dan masih banyak lagi. Modal antara kedua belah pihak harus dicampur dan tidak boleh dipisah-pisahkan, setiap mitra mempunyai hak untuk mengelola aset kemitraan yang memiliki ketentuan bahwa aset tersebut digunakan untuk proyek berbasiskan syariah.
Syarat dari syirkah terhimpun menjadi dua hal, antara lain sebagai berikut :
1.      Obyek akadnya terhadap tasharruf, yang dimaksud dalam hal ini adalah aktivitas pengelolaan hartan dengan melakukan akad, misalnya saja melakukan akad jual beli.
2.      Obyek akadnya dapat diwakilkan (wakalah), hal ini dilakukan agar keutungan syirkah bisa menjadi hak milik bersama diantara para mitra usaha yang melakukan kerjasama.
Menurut ketentuan  syarat sah syirkah terbagi menjadi dua kategori, yakni:
1.      Syarat-syarat umum syirkah
a. Jenis usaha fisik yang dilakukan dalam syirkah ini harus dapat diwakilkan kepada orang lain. Hal ini penting karena dalam kenyataan, sering kali satu patner mewakili perusahaan untuk melakukan dealing dengan perusahaan lain. Jika syarat ini tidak ada dalam jenis usaha, maka akan sulit menjalankan perusahaan dengan gesit.
b. Keuntungan yang didapat nanti dari hasil usaha harus diketahui dengan jelas. Masing-masing patner harus mengetahui saham keuntungannya seperti 10 % atau 20 % misalnya.
     c.  Keuntungan harus disebar kepada semua patner.
     2. Syarat-syarat khusus
a. Modal yang disetor harus berupa barang yang dihadirkan. Tidak diperbolehkan modal masih berupah utang atau uang yang tidak dapat dihadirkan ketika akad atau beli. Tidak disyaratkan  modal yang disetor oleh para patner itu dicampur satu sama lain. Karena syirkah ini dapat diwujudkan dengan akad dan bukan dengan modal.
b. Modal harus berupa uang kontan. Tidak diperbolehkan modal dalam bentuk harta yang tidak bergerak atau barang. Karena barang-barang ini tidak dapat dijadikan ukuran sehingga akan menimbulkan persengketaan di kemudian hari karena keuntungan yang dihasilkannya juga menjadi tidak jelas proporsinya dengan modal yang disetor akibat sulitnya dinilai.
Menurut ulama’ hanafiyah, syarat dari syirkah terbagi menjadi beberapa antara laian :
1.      Sesuatu yang berkaitan dengan bentuk yirkah baik dengan harta maupun dengan yang lainnya. Dalam hal ini terdapat dua syarat, yaitu: Berkenaan dengan benda yang diakadkan adalah harus dapat diterima sebagai perwakilan Yang berkenaan dengan keuntungan, yaitu pembagian keuntungan harus jelas dan dapat diketahui dua pihak, misalnya setengah, sepertiga  dan yang lainnya
2.      Sesuatu yang bertalian dengan syirkah mal (harta), dalam hal ini terdapat dua    perkara  yang harus dipeuhi yaitu:
a.       Bahwa modal yang dijadikan objek akad syirkah adalah alat pembayaran (nuqud), seperti Junaih, Riyal, dan Rupiah
b.      Yang  dijadikan modal (harta pokok) ada ketika akad syirkah dilakukan, baik jumlahnya sama maupun berbeda.
       3. Sesuatu yang bertalian dengan syarikat mufawadhah, bahwa dalam mufawadhah                disyaratkan:
a.       Modal (pokok harta) dalam syirkah mufawadhah harus sama
b.      Bagi yang bersyirkah ahli untuk kafalah
c.       Bagi yang dijadikan objek  akad disyaratkan syirkah umum, yakni pada    semua macam jual beli atau perdagangan.
Dalam beberapa periwayatan disebutkan bahwa, syirkah boleh dilakukan antar sesama muslim ataupun antar sesama kafir dzimmi atau juga boleh dilakukan antara muslim dan kafir dzimmi. Abdulloh bin Ummar r.a meriwayatkan :
عَامَل رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم أَهْلُ خَيْبَرَ -وَهُمْ يَهُوْدُ- بِشَطْرِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ           
Yang artinya : “Rasulullah saw. Pernah mempekerjakan penduduk Khaibar-mereka adalah Yahudi-dengan mendapat bagian dari hasil penen buah dan tanaman” (HR Muslim)
اشْتَرَى رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا وَرَهَنَهُ دِرْعَهُ                           
“Rasulullah saw. pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan cara menggadaikan baju besi beliau kepadanya” (HR al-Bukhari, dari Aisyah ra.).
Oleh sebab itu melakukan syirkah atau semacamnya boleh dilakukan oleh lintas agama tidak hanya boleh diakukan oleh antar umat muslim saja. Alasan pembolehan ini dikarenakan keberagaman agama yang ada si muka bumi, dengan hanya membatasi kerjasama antar negara otomatis kegiatan perekonomian tidak bisa berkembang dengan leluasa.
2.6. Pembatalan Syirkah        
Dalam suatu perjanjian ataupun kerjasama adakalanya mengalami suatu problematika yang akhirnya berdampak pada pembatalan kerjasama tersebut. tak terkecuali dengan syirkah, dalam syirkah juga bisa terjadi suatu pembatalan manakla dilatar belakangi oleh hala-hal berikut, antara lain :
1.      Salah satu pihak yang mengikat kontrak tersebut membatalkannya, meskipun tanpa persetujuan pihak lainnya, sebab syirkah atau musyarakah adalah suatu akad (kontrak) yang terjadi atas dasar kerelaan antara kedua belah pihak atau lebih. dan kontrak tersebut tidak ada keharusan untuk dilaksanakan apabila salah satu pihak tidak menginginkannya lagi, hal ini merupakan indikator pencabutan atau pembatalan kerelaan syirkah oleh salah satu pihak.
2.      Salah satu pihak dari pihak-pihak yang bekerja sama hilang atau tidak mempunyai kapabilitas dan keahlian dalam manajemen keuangan (mengelola harta, usaha), baik karena gila, depresi/stres berat maupun karena sebab lainnya.
3.       Salah satu pihak meninggal dunia, tetapi apabila anggota musyarakah tersebut lebih dari dua pihak, yang berakhir atau batal adalah yang meninggal saja. Musyarakah dapat terus berlangsung selama pihak-pihak lainnya masih hidup, apabila ahli waris dari pihak yang meninggal menghendaki turut serta dalam musyarakah tersebut, maka dapat dilakukan perjanjian (kontrak) kerja sama yang baru bagi ahli waris yang bersangkutan.
4.      Salah satu pihak ditaruh di bawah pengampunan, baik karena boros yang terjadi pada saat kontrak perjanjian syirkah sedang berjalan maupun sebab yang lainnya.
5.      Salah satu pihak menderita kebangkrutan (pailit) yang berdampak tidak memilki secara penuh atas harta yang menjadi saham musyarakah. Pendapat ini dikemukakan oleh mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa keadaan pailit atau bangkrut itu tidak membatalkan atau mengakhiri perjanjian yang disepakati oleh yang bersangkutan.
6.      Modal dari para pihak yang terlibat dalam musyarakah tersebut hilang atau lenyap sebelum dibelanjakan atas nama musyarakah. Bila modal tersebut hilang atau lenyap sebelum terjadi percampuran harta atau dana sehingga tidak dapat lagi dipisah-pisahkan lagi, yang menanggung resiko adalah para pemiliknya sendiri. Apabila modal hilang atau lenyap setelah terjadi percampuran harta atau dana sehingga tidak dapat dipisah-pisahkan lagi, maka hal itu menjadi tanggungan resiko bersama. Kerusakan terjadi setelah dibelanjakan, menjadi resiko bersama, dan apabila masih ada sisa harta atau modal maka musyarakah tersebut masih dapat berlangsung dengan kekayaan (asset) yang masih ada.
Akad syirkah ini mendapatkan landasan syariahnya dari al-Qur’an, hadis dan ijma’.
(Q.S. An Nisa :12)
         وَإِن كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلاَلَةً أَو امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ فَإِن كَانُوَاْ أَكْثَرَ مِن ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاء فِي الثُّلُثِ مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَآ أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَآرٍّ وَصِيَّةً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris)[274]. (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.
Ayat ini sebenarnya tidak memberikan landasan syariah bagi semua jenis syirkah, ia hanya memberikan landasan kepada syirkah jabariyyah ( yaitu perkongsian beberapa orang yang terjadi di luar kehendak mereka karena mereka sama-sama mewarisi harta pusaka).
(Q.S. Shaad-24)
قَالَ لَقَدْ ظَلَمَكَ بِسُؤَالِ نَعْجَتِكَ إِلَى نِعَاجِهِ وَإِنَّ كَثِيرًا مِّنْ الْخُلَطَاء لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَّا هُمْ وَظَنَّ دَاوُودُ أَنَّمَا فَتَنَّاهُ فَاسْتَغْفَرَ رَبَّهُ وَخَرَّ رَاكِعًا وَأَنَاب
Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berkongsi itu benar-benar berbuat zalim kepada sebagian lainnya kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh”. Q.S. Shaad: 24.
Ayat ini mencela perilaku orang-orang yang berkongsi atau berserikat dalam berdagang dengan menzalimi sebagian dari mitra mereka. Kedua ayat al-Qur’an ini jelas menunjukkan bahwa syirkah pada hakekatnya diperbolehkan oleh risalah-risalah yang terdahulu dan telah dipraktekkan.
Di riwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda :
          أنا  ثا لث الشاركين  ما لم يخن أحدهما  صا حبه  فاذا  خانه خرجت من بينهما  (رواه أبو داود)
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfirman : “Aku pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah satunya tidak menghianati lainnya” (HR. Abu Dawud dan Hakim).
Arti hadis ini adalah bahwa Allah SWT akan selalu bersama kedua orang yang berkongsi dalam kepengawasanNya, penjagaanNya dan bantuanNya. Allah akan memberikan bantuan dalam kemitraan ini dan menurunkan berkah dalam perniagaan mereka. Jika keduanya atau salah satu dari keduanya telah berkhianat, maka Allah meninggalkan mereka dengan tidak memberikan berkah dan pertolongan sehingga perniagaan itu merugi. Di samping itu masih banyak hadis yang lain yang menceritakan bahwa para sahabat telah mempraktekkan syirkah ini sementara Rasulullah SAW tidak pernah melarang mereka. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Rasulullah telah memberikan ketetapan kepada mereka.
            Ijma menurut  pakar ushul fikih merupakan salah satu prinsip dari syariat Islam. Ijma adalah suatu konsensus (kesepakatan) mengenai permasalahan hukum Islam baik dinyatakan secara diam maupun secara nyata, dan merupakan konsensus seluruh ulama (mujtahid) di kalangan kaum muslimin pada suatu masa setelah Rasulullah SAW wafat atas hukum syara’ mengenai suatu kejadian.
            Dalam konteks musyarakah, Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni, mengatakan : “ Kaum muslimin telah berkonsensus terhadap legitimasi musyarakah secara global walaupun terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa elemen darinya.”
Penerapan syirkah pada lembaga keuangan mulai sedikit perlahan dicanangkan, contohnya seperti :
1.      Pada pembiayaan suatu proyek
Pada pembiayaan kali ini lembaga keuangan bekerjasama dengan sebuah perusahaan untuk sebuah proyek. Dalam hal ini kedua belah pihak masing-masing mengeluarkan dana guna membiayai proyek yang akan berlangsung. Apabila dalam proyek tersebut menghasilkan keuntungan maka perusahaan diharuskan membagi keuntungan kepada lembaga keuangan sesuai dengan kesepakatan antar kedua belah pihak.
2.      Modal Ventura
Pada lembaga keuangan ini, penanaman modal memiliki jangka waktu tertentu yang apabila suadah jatuh tempo modal ventura bisa melakukan disvesi atau menjual saham miliknya baik secara langsung maupun tidak.
Walaupun sudah diketahui secara gamblang mengenai penerapan syirkah dalam lembaga keuangan yang dimisalkan diatas namu dalam prakteknya, lembaga keuangan yang berbasis syariah di Indonesia tidak sepenuhnya menganut sistem musyarakah yang tercipta pada zaman klasik, perbedaan tersebut antara lain :
Karakteristik pokok
Praktik klasik
Praktik di Indonesia
Tujuan transaksi
-Investasi bersama (kontrobusi dana) serta pengelolaan dana bersama
- Para pihak berkontribusi dana
- pembiayaan atau penyedia fasilitas
-sebagian besar kasus hanya bank yang memberikan kontribusi dana
Pengelola usaha
Seluruh pihak
Hanya nasabah bank
Pembagian hasil
Profit dan loss sharing
Revenue sharing
Pembayaran bagi hasil dan perhitungan profit rate
Dilakukan satu kali diakhir periode. Profit rate dihitung satu kali diakhir atas dasar 100% nilai penempatan dana investor sejak awal periode perjanjian.
Untuk satu kali angsuran pokok: bagi hasil dibayar secara periodik sesuai perjanjian dan profit rate dihitung atas dasar jumlah nominal bagi hasil per dana awal yang masih 100% digunakan oleh nasabah. Untuk pokok yang diangsur; (i) bagi hasil dibayar periodik sesuai denga periode angsuran pokok dan profit rate dihitung dari jumlah nominal bagi hasil per dana awal 100% atau (ii) bagi hasil dibayar periodik sesuai dengan periode angsuran pokok dan profit rate dihitung dari jumlah nominal dari bagi hasil yang di-discount karena menurunnya share dana bank dalam usaha nasabah.
Kolateral
Tanpa jaminan
Dengan jaminan


FATWA
DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NO: 08/DSN-MUI/IV/2000
Tentang
PEMBIAYAAN MUSYARAKAH


Menimbang :
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : FATWA TENTANG PEMBIAYAAN MUSYARAKAH
Pertama : Beberapa Ketentuan:
  1. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut:
    1. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad).
    2. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.
    3. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.
  2. Pihak-pihak yang berkontrak harus cakap hukum, dan memperhatikan hal-hal berikut:
    1. Kompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan.
    2. Setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan, dan setiap mitra melaksanakan kerja sebagai wakil.
    3. Setiap mitra memiliki hak untuk mengatur aset musyarakah dalam proses bisnis normal.
    4. Setiap mitra memberi wewenang kepada mitra yang lain untuk mengelola aset dan masing-masing dianggap telah diberi wewenang untuk melakukan aktifitas musyarakah dengan memperhatikan kepentingan mitranya, tanpa melakukan kelalaian dan kesalahan yang disengaja.
    5. Seorang mitra tidak diizinkan untuk mencairkan atau menginvestasikan dana untuk kepentingannya sendiri.
  3. Obyek akad (modal, kerja, keuntungan dan kerugian)
    1. Modal
      1. Modal yang diberikan harus uang tunai, emas, perak atau yang nilainya sama.
        Modal dapat terdiri dari aset perdagangan, seperti barang-barang, properti, dan sebagainya. Jika modal berbentuk aset, harus terlebih dahulu dinilai dengan tunai dan disepakati oleh para mitra.
      2. Para pihak tidak boleh meminjam, meminjamkan, menyumbangkan atau menghadiahkan modal musyarakah kepada pihak lain, kecuali atas dasar kesepakatan.
      3. Pada prinsipnya, dalam pembiayaan musyarakah tidak ada jaminan, namun untuk menghindari terjadinya penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan.
    2. Kerja
      1. Partisipasi para mitra dalam pekerjaan merupakan dasar pelaksanaan musyarakah; akan tetapi, kesamaan porsi kerja bukanlah merupakan syarat. Seorang mitra boleh melaksanakan kerja lebih banyak dari yang lainnya, dan dalam hal ini ia boleh menuntut bagian keuntungan tambahan bagi dirinya.
      2. Setiap mitra melaksanakan kerja dalam musyarakah atas nama pribadi dan wakil dari mitranya. Kedudukan masing-masing dalam organisasi kerja harus dijelaskan dalam kontrak.
    3. Keuntungan
      1. Keuntungan harus dikuantifikasi dengan jelas untuk menghindarkan perbedaan dan sengketa pada waktu alokasi keuntungan atau penghentian musyarakah.
      2. Setiap keuntungan mitra harus dibagikan secara proporsional atas dasar seluruh keuntungan dan tidak ada jumlah yang ditentukan di awal yang ditetapkan bagi seorang mitra.
      3. Seorang mitra boleh mengusulkan bahwa jika keuntungan melebihi jumlah tertentu, kelebihan atau prosentase itu diberikan kepadanya.
      4. Sistem pembagian keuntungan harus tertuang dengan jelas dalam akad.
    4. Kerugian
      Kerugian harus dibagi di antara para mitra secara proporsional menurut saham masing-masing dalam modal.
  4. Biaya Operasional dan Persengketaan
    1. Biaya operasional dibebankan pada modal bersama.
    2. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
       

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal :  08 Muharram 1421 H / 13 April 2000 M

  

http://abufawaz.wordpress.com/2012/11/05/1201/ diunduh tanggal 4November 2013
Antonio, M. Syafi’i. 1999. Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendekiawan. Jakarta:         Bank Indonesia & Tazkia Institute.
Antonio, M. Syafii. 2001. Bank Syariah Dalam Teori & Praktek. Gema Insani Pers. Jakarta
Riefzhahara.2006.bab2 pdf-s1